Mahatma Gandhi

"You may never know what results come of your action, but if you do nothing there will be no result"    

Rabu, 01 Juni 2011

Lost Sensitivity

Benar kalau banyak yang bilang jaman ini jaman yang edan, dimana manusia-manusianya sudah pada "sakit jiwa", sudah pada apatis dengan sekelilingnya. Nggak salah juga kalau banyak yang bilang dunia ini mau kiamat karena banyak ciri-ciri penghuni neraka mulai unjuk gigi dikehidupan yang semakin semrawut ini. 

Huuuufffff....sedih, gundah, kesal dan kecewa, ini adalah perasaan yang mengawali celotehan saya kali ini. Pengen nangis, pengen marah, pengen teriak rasanya tapi tidak mungkin saya lakukan, yang dapat saya lakukan hanyalah tarik napas yang panjang, mengelus dada, dzikir dalam hati, dan setelah colling down, berceloteh.

Pernahkah anda membaca novelnya Stephenie Morgan Meyer yang berjudul "The Host" ? kalau nggak salah sekitar Juli 2009 diterbitkan, bila belum, segera kunjungi toko-toko buku terdekat. Celotehan saya kali ini sama sekali tidak ingin membahas tentang Stephenie Meyer, sama sekali tidak akan membahas tentang buku tersebut, dan sama sekali tidak hendak bercerita tentang penjualan buku tersebut. Saya hanya berniat membahas tentang kepekaan yang hilang.

Pernahkah anda memperhatikan sekeliling anda, perhatikan makhluk-makhluk yang mengaku manusia dalam bertingkahlaku yang menurutnya manusiawi, perhatikan bagaimana cara mereka menghadapi hidup dan menghargai kehidupan, dan perhatikan bagaimana cara mereka bertingkahlaku dengan makhluk-makhluk hidup dalam kehidupannya. Setelah anda mengamati silahkan kilas balik, bandingkan dengan kehidupan pada masa-masa sebelumnya, perhatikan prilaku sosiologi masyarakat pada era Albert Einstein masih hidup, atau jaman-jaman ketika kakek-nenek kita masih pakai celana pendek, bukan berarti pada jaman-jaman itu tidak ada kejahatan dan minus manusia berhati busuk, pasti ada, bukankah selama turunannya Adam & Hawa masih berkeliaran dimuka bumi ini tentunya akan tetap ada pergulatan-pergulatan manusia melawan hawa nafsunya, dan ketika ia kalah dalam peperangan melawan hawa nafsu maka pastinya kebejatan moral akan muncul dalam kehidupan sosial masyarakat. Tapi bila dicermati lebih lanjut mau tak mau harus diakui bahwa prilaku manusia-manusia jamannya kakek nenek saya kecil masih jauh lebih sopan dibandingkan saat ini.

Silahkan cermati prilaku sosial manusia saat ini, bukankah apatis dan tidak peka merupakan prilaku unggul yang selalu ditunjukkan saat ini ? Bukankah trend yang berkembang saat ini adalah "cuek lambang pergaulan, sebodo amat motto hidup saya", Hhhuuuuuuffffffffff.....sesak dada ini rasanya melihat tingkah laku manusia yang hanya mementingkan dirinya sendiri & sangat menyakitkan berada pada posisi seseorang yang kepentingannya selalu terabaikan.

Contoh paling mudah untuk dilihat, silahkan amati lalu lintas, betapa sepertinya semua kendaraan bermotor sekarang ini tidak lagi memiliki pedal rem, seakan-akan rem diciptakan hanya untuk digunakan dalam keadaan terdesak si pengemudinya saja, sebodo amat dengan keadaan terdesak orang lain, hasilnya, lampu merah diterobos, hak pengguna jalan dilanggar, bahkan kesempatan pengguna jalan untuk menyeberang jalanpun enggan diberikan, seakan-akan punya saham atas kepemilikan jalan raya, tancap gas dan pencet klakson seenak udelnya adalah hak veto yang ia miliki tanpa mau peduli dengan hak orang lain.

Hari ini saya mangkel, jengkel, kesel dengan keadaan, sebel karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk hal yang sebenarnya salah tapi sudah lama dianggap sebagai kebiasaan yang benar. Kalaulah boleh dan sopan untuk saya menunjuk-nunjuk dan mencaci-maki pasti akan saya lakukan, tapi seperti biasa kata-kata suami yang selalu menyejukkan membuat saya untuk berpikir bahwa Alhamdulillah Allah memberikan kematangan otak yang sempurna kepada saya untuk menyaring apa yang benar dan salah yang selanjutnya akan diekspresikan tubuh saya bagi orang lain sehingga saya tidak perlu terjerumus menjadi orang-orang tolol yang hidup dalam kekufuran.

Apapun gejala-gejala dini orang yang akan dihinggapi stroke menurut ilmu kedokteran, tapi bagi saya bila kepekaan seseorang terhadap makhluk lainnya sudah hilang, beware, tidak lama lagi pasti stroke akan menyapa anda. Saya yakin kita semua sepakat bila manusia tidak bisa hidup tanpa manusia yang lainnya, dan saya yakin semua orang tidak ada yang ingin hidup sendiri didunia ini. Tapi mengapa ego selalu dikedepankan demi kepentingan diri sendiri, mengapa tega menindas orang lain hanya agar kepuasan dirinya terpenuhi tanpa menghargai perasaan orang lain. Kita hidup untuk bermasyarakat, tentunya agar dapat menjalin hubungan kemasyarakatan yang baik kita harus dapat sedikit *gak minta banyak, hanya sedikit* menekan ego kita.

Saya maklum bila kehidupan manusia itu tidak terlepas dari nafsu, tapi saya akan sangat menghargai bila ada orang yang mampu menahan hawa nafsunya demi kebahagian orang lain, demi berjalannya mata rantai kehidupan. Hidup tanpa nafsu jelas bukan hidup namanya, tapi hidup hanya demi memuaskan nafsu sudah pasti hanya akan membawa kita pada masalah, apalagi dengan mengorbankan orang lain demi memuaskan hawa nafsu.

Saya rindu dengan suasana ketika masih kecil dulu, dimana manusia masih ada harganya di mata manusia yang lainnya, dimana kepedulian antar sesama masih mewarnai kehidupan bermasyarakat. Tidak dipungkiri sejak Adam dan Hawa turun ke Bumi pergulatan antara manusia dan nafsunya selalu mewarnai kehidupan, tapi harus diakui semakin modern manusianya maka akan semakin terpuruk ia dalam kekufuran bila ia tidak dapat mengendalikan nafsunya.

Balik lagi ke novelnya Stephenie Morgan Meyer yang berjudul "The Host" saya tidak akan menyalahkan  gerombolan alien yang ingin merubah bumi, mungkin bila kelak mereka datang saya adalah orang yang berdiri dibarisan paling depan dengan spanduk yang bertuliskan "welcome in our hell, save the world please" tapi saya juga akan request agar orang-orang yang telah benar jalan hidupnya tidak diparistisme lagi, cukup mereka-mereka yang berakhlak bobrok dan bermoral lumpur saja.

Saya kangen dengan suasana seperti dalam gambar-gambar buku Pendidikan Moral Pancasila ketika saya SD dulu, saya rindu dengan kehadiran keluarga Budi, Ima & dan Iwan dalam pelajaran Bahasa Indonesia.  Kangen dan rindu saya tidak semata pada visualisasi dari kedua buku pelajaran ketika saya SD tersebut, melainkan suasana yang melatar belakangi kehidupan saya dikala itu. Saat itu adalah saat-saat dimana maling masuk rumah pada malam hari dan menghilang sebelum yang punya rumah bangun, tidak seperti maling saat ini yang sengaja bangunin pemilik rumah untuk minta ditunjukkan dimana sang pemilik rumah menyimpan barang-barang berharganya dan setelah niatnya tercapai maka si maling yang tidak sopan tadi tidak akan segan membunuh pemilik rumah untuk menghilangkan jejak, agar tidak ada saksi yang dapat menguatkan pembuktian atas perbuatannya dimuka hukum, E D A N.

Apakah *maaf cakap* kebiadaban moral ini akan terus berlanjut ? Akankah masa-masa sopan seperti dulu akan kembali lagi ? Entahlah, tapi yang pasti *menurut saya* bila kita tidak nyaman dengan keadaan saat ini, *pastinya* kita tidak akan bisa mengubah keadaan bila kita tidak memulainya dari diri kita sendiri. Konyol rasanya bila kita ingin dihargai tapi kita sendiri tidak dapat menghargai atau bahkan menunjukkan sikap yang tidak patut untuk dihargai, maka bila saya ingin kehidupan sosial saya berjalan dengan baik maka saya akan berupaya untuk membenahi dulu kepribadian saya, banyak- banyak bercermin agar saya dapat melihat semua cacat tubuh yang saya miliki, berupaya mengenal dan membina hubungan yang baik dengan kepribadian saya agar saya dapat membina hubungan baik dengan orang lain, dan pastinya belajar mendengar dan memahami diri saya agar kelak saya dapat memahami  keinginan orang lain.