Putra sulung kami ini lahir pada tanggal 30 Juni 2005 tepat 1 tahun 6 hari setelah saya dan Papanya menikah, dengan panjang 48 Cm dan berat badan 3,33 Kg. Nama Agung Perdana Adhisatya diberikan Papanya dengan maksud agar kelak ia menjadi orang yang mengutamakan kesempurnaan, sempurna dalam berpikir, sempurna dalam bertuturkata, dan sempurna dalam bertingkah laku, sepertinya terlalu berat ya, tapi bukankah menaruh harapan dalam doa tidak ada salahnya. Sejak mulai dinyatakan positif hamil, nama yang selalu dioret-oret Papanya dikertas adalah Agung, tanpa pernah peduli bila anaknya perempuan, karena saat itu dia keukeh, yakin, kalau bayi dalam kandungan saya pasti laki-laki, syukurlah tebakannya benar, bayangkan saja bila salah, akan jadi setomboy apa putri saya ntar, pernah saya tanya kenapa suka sekali dengan nama agung, jawabannya simple, "karena semua orang bernama Agung yang saya kenal adalah orang-orang hebat, pintar dan sholeh, semoga kelak anak kita juga akan seperti itu, hebat, pintar dan sholeh, Amin". Kata Perdana dicantumkan karena notabene dia adalah putra pertama kami, sedangkan Adhi, yang artinya sempurna, dan Satya, setia, bila digabungkan menjadi Adhisatya mengandung arti sangat sempurna atau kesetiaan yang sempurna, sehingga seperti diawal telah saya jelaskan keseluruhan arti dari namanya adalah mengutamakan kesempurnaan.
Proses kehamilan yang untuk pertama kalinya dalam hidup saya jalani sangatlah menyenangkan, saya tidak merasakan morning sickness yang berat, paling hanya mual-mual biasa dan muntah bila sikat gigi, saya tidak merasakan pusing-pusing dan sakit kepala yang hebat seperti yang biasanya dialami oleh beberapa ibu diawal kehamilan, saya juga tidak ngidam yang aneh-aneh, tidak mual-mual diikuti muntah hebat bila mencium aroma yang menyengat, paling hanya pusing sebentar, dan masih sanggup beraktifitas sebagaimana biasanya, benar-benar proses kehamilan yang sangat menyenangkan. Namun ketika sedang mengandung Agung inilah saya dan suami banyak diberikan cobaan, seperti plasenta previa yang mengakibatkan saya sering mengalami pendarahan ringan, selain itu sewaktu hamil saya juga pernah mengalami kecelakaan yang menyebabkan saya dan suami menderita luka-luka ringan, untungnya tidak berbahaya bagi kehamilan saya, hanya dianjurkan untuk bedrest selama 1 minggu karena saya mengalami pendarahan ringan, cobaan yang lain adalah ketika memasuki bulan kelima saya harus menjalani operasi dikarenakan suatu penyakit, namun cobaan terberat adalah ketika pada tanggal 26 Desember 2004, tepat 6 bulan setelah resepsi pernikahan kami, gempa dahsyat mengakibatkan tsunami yang ganas meluluhlantakkan bumi Aceh, memporak-porandakan serambi mekah, menghancurkan semua bangunan yang dilaluinya dan yang tragis memisahkan kami dari orang-orang yang kami kasihi, saat itu usia kehamilan saya baru memasuki bulan ketiga.
Sejak tragedi tsunami merenggut mereka-mereka yang tercinta dari pelukan kami, saya menjadi cengeng, mudah menangis, apalagi bila mengenang mereka yang telah pergi, padahal psikologis ibu sangat mempengaruhi tumbuh kembang dan kejiwaan janin yang dikandung, saya tahu betul bila apa yang saya rasakan dan saya perbuat akan berpengaruh bagi psikis bayi yang saya kandung, tapi saya tidak dapat menahan rasa sedih saya bila kenangan-kenangan indah dengan mereka yang telah pergi melintas kembali dibenak saya.
Menurut ilmu hitung-hitungan dokter kandungan, Agung diprediksikan lahir pada tanggal 24 Juni 2005 tepat 1 tahun sesudah kami menikah, segala hal yang diperlukan untuk menyambut kelahirannya telah kami persiapkan dengan matang, mulai dari nama, perlengkapan bayi, dana talangan untuk hal-hal yang diluar rencana sampai dengan dokter-dokter cadangan bilamana dokter kandungan dan dokter anak yang kami inginkan berhalangan hadir, dan saya pun sudah mengambil cuti untuk pulang ke Banda Aceh dengan maksud akan melahirkan disana sedangkan suami masih di kota tempat kami bertugas, namun sampai dengan tanggal 24 Juni 2005 Agung belum menunjukkan tanda-tanda ingin keluar dari kandungan saya, dokter menyarankan untuk dilakukan operasi saja dengan alasan bila lewat waktu air ketuban akan semakin berkurang dan keruh yang pastinya berbahaya bagi bayi yang saya kandung, tapi saya keberatan, saya minta waktu karena berharap dapat melahirkan secara normal.
Tanggal 28 Juni 2005 saya dan adik perempuan saya, Kiki, pergi ke salon dengan maksud hendak pangkas rambut, pertimbangan saya adalah alangkah ribetnya bila punya rambut panjang diawal-awal pasca persalinan, sepulang dari salon saya berasa kurang enak badan, saya pikir biasalah kecapean maka sayapun istirahat, sorenya saya demam tinggi disertai menggigil yang hebat selain itu sekujur tubuh saya terdapat ruam-ruam merah, karena khawatir maka saya segera dilarikan ke dokter kandungan, melihat kondisi saya dokter kandungan merekomendasikan saya ke dokter kulit karena dia curiga kalau saya terserang virus campak, ternyata dugaannya benar, kesimpulan diagnosa dokter kulitpun menyatakan saya positif terkena campak. Kemudian dokter kandungan menjelaskan beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh virus campak itu terhadap kandungan saya, kesimpulannya Agung harus segera dilahirkan, selain karena faktor terserang virus campak tadi ternyata posisi Agung masih di atas jangankan berada dijalan lahir, menuju jalan lahirpun belum, padahal berdasarkan hasil tes laboraturium, cairan ketuban saya sudah berkurang dan mulai keruh, ini sangat membahayakan bayi, karena Agung belum masuk ke jalan lahir maka apabila diinduksi, diberikan cairan perangsang agar bayi aktif menuju jalan lahir, selama 2 x 24 jam pun tidak dapat merangsang Agung menuju jalan lahir, mengingat kondisi saya yang semakin lemah karena terserang virus campak maka dokter menyarankan untuk dilakukan operasi caesar saja, tapi keputusan diserahkan sepenuhnya kepada kami sebagai orang tuanya.
Tanggal 29 Juni 2005 suami saya tiba di Banda Aceh dari kota tempat kami bertugas, kembali dokter menjelaskan kepada suami saya apa yang terjadi dan solusi-solusinya sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya kepada saya, maka kami mengambil keputusan bila sampai besok, tanggal 30 Juni 2005, Agung belum juga menunjukkan tanda-tanda ingin dilahirkan secara normal, maka kami akan mengambil opsi kedua yaitu caesar.
Maka pada tanggal 30 Juni 2005 Pukul 3 sore Agung lahir lewat jalan caesar, selama proses operasi saya dalam keadaan sadar karena hanya dibius lokal, begitu Agung lahir, saya mendengar tangisnya yang kuat "Selamat Bu...Anaknya laki-laki.." kata dokter kandungan. Karena waktu itu di Banda Aceh belum mengenal istilah Inisiasi Menyusui Dini, maka setelah Agung lahir, ia harus dibersihkan dan menjalani tes apgar terlebih dahulu sebelum diperlihatkan kepada saya. Tapi sampai dengan selesai operasi Agung masih belum dipertemukan dengan saya, ketika saya keluar dari ruang operasi saya lihat suami saya menangis, ada apa pikir saya, apa yang terjadi dengan anak saya, kenapa dia belum dipertemukan dengan saya pikir saya panik,
"Kenapa nangis.." tanya saya kepada suami
"Tidak ada apa-apa...hanya teringat Ayah..mirip Ayah.." katanya terbata-bata sambil mencium kening saya, Ayah mertua saya termasuk salah satu korban tsunami dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya.
Tiba-tiba datang perawat memberitahukan bahwa suami saya dipanggil dokter, lama suami saya tidak kembali, sedangkan Agung masih juga belum dipertemukan dengan saya, tidak lama kemudian Kiki, adik saya, datang, dengan perlahan-lahan dia menjelaskan kepada saya,
"kata dokter, setelah menjalani tes apgar tiba-tiba tubuh bayi membiru, dokter khawatir jadi segera dilarikan ke RS yang lain karena di RS ini alatnya kurang lengkap, tapi Kakak jangan khawatir ya, bayinya nggak kenapa-kenapa.." katanya dengan hati-hati.
Duuuuuuuhhhhhhhh....lemeeeeeeeeeesssssss....banget mendengarnya, ada apa dengan anak saya, lindungi anak saya ya Allah, tolong bantu kami, pinta saya kepada Tuhan dalam hati.
"Bang Agus mana ?.." tanya saya
"Bang Agus ikut ngantar bayinya ke RS.." jawabnya.
Saya pengen bangun, pengen lihat sendiri gimana kondisi anak saya, tapi karena pengaruh anastesi saya belum bisa ngapa-ngapain, yang dapat saya lakukan hanyalah terus meminta kepada Tuhan agar melindungi anak saya dan memberikan kesehatan yang berlimpah kepadanya.
Kira-kira 1 jam kemudian, suami saya datang bersama dengan dokter anak kami, dia menjelaskan Alhamdulillah anak kami sehat-sehat saja, benar kalau sesudah dibersihkan tadi sekujur tubuhnya sempat membiru sehingga dokter perlu mengambil tindakan untuk merujuknya ke RS lain, namun dalam perjalanan tubuhnya berangsur-angsur merona kembali bahkan sesampainya dihalaman RS dia kembali normal, dan setelah dilakukan tes laboraturium terhadap darahnya Alhamdulillah sehat, namun untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan maka diputuskan agar ia dirawat inap saja di RS tersebut. Syukur Alhamdulillah, lega sekali saya mendengar penjelasannya. Menurut dokter billirubinnya sedikit diatas ambang normal tapi itu biasa terjadi terhadap bayi-bayi yang baru lahir, namun mengingat ia lahir telah lewat dari waktu yang ditentukan dan menimbang hal-hal yang menyebabkan ia harus di operasi, maka dokter menyarankan agar anak kami menjalani light therapy, jadi dia harus disinar selama waktu tertentu.
Tiga hari setelah melahirkan saya diperbolehkan pulang, dari RS tempat saya dirawat kami langsung menuju RS tempat Agung masih dirawat, disanalah untuk pertama kalinya saya bertemu dengan Agung, menggendongnya dan memberikan ASI. Ketika saya tiba di RS, saya lihat Agung dalam light therapies box, saya keluarkan dia dari box, saya peluk dia, saya cium, saya timang, saya belai kulit halusnya, rambutnya yang keriwil-keriwil halus dan jari-jarinya yang mungil, seperti telah mengenal saya, Agung yang ketika kami datang tadi sedang menangis langsung diam dalam buaian saya, ketika saya berikan ASI mulut mungilnya semangat mencari-cari ASI, sakiiiiiit sekali ketika memberikan ASI untuk yang pertama kali, namun rasa sakit itu hilang ketika melihatnya. Ketika sedang memberikannya ASI, saya perhatikan ternyata benar, saat itu Agung mirip dengan almarhum Ayah mertua saya, rambutnya, matanya, hidungnya, mulutnya dan pipinya yang chubby mengingatkan akan rupa beliau, saya menangis. Karena Agung masih harus menjalani 2 hari lagi light therapy maka dengan berat hati ia terpaksa harus saya tinggalkan di RS tersebut. Hari kelima Agung sudah diijinkan pulang, saya senang sekali, sejak itulah kehidupan saya sebagai Ibu dimulai.
Diawal-awal kelahirannya Agung tiduuuuur terus, susah sekali memberikannya ASI karena baru sebentar diberikan dia sudah tidur lagi, namun karena mengingat pesan dokter kalau dia harus banyak diberikan ASI agar billirubinnya tidak naik lagi, maka agar mudah, ASI yang telah diperah saya masukkan ke dalam botol dot, dan karena ASI saya masih sedikit maka dibantu juga dengan susu formula, sebenarnya ini tidak dianjurkan karena akan membuat bayi jadi bingung & takutnya malah lebih doyan ngedot, tapi kalau tidak begitu sepertinya susah sekali memberikannya minum. Kalau pakai dot, bila ia tidur dan tidak mau menghisap maka tinggal diketok saja botol dotnya, biasanya kalau diketok dia refleks menghisap lagi, tapi tidak sampai 5 menit ya molor lagi, hal ini terus berlangsung selama + 2 bulan. Setelah lewat 2 bulan saya dan Agung sama-sama mulai pintar menyusui dan disusui maka perlahan-lahan Agung mulai lepas dari botol dot.
Sejak mulai dibawa pulang dari RS setiap malamnya saya selalu begadang karena Agung rewel, pada bulan pertama kelahirannya setiap pukul 24.00 WIB Agung mulai "konser", istilah Adril adik saya. Ketika jarum jam tepat berhenti di angka 12 Agung mulai bangun dari tidurnya, awalnya hanya merengek-rengek biasa, setelah disusui dia tidak mau tidur malah mulai menangis, semakin lama suaranya semakin keras membuat panik yang mendengarkannya, segala usaha yang dilakukan tidak dapat menghentikan tangisannya, Agung baru berhenti menangis ketika azan shubuh mulai dikumandangkan, walhasil saya pun harus semalaman begadang menjaganya, hal ini berlangsung selama bulan pertama kehidupannya. Pada bulan kedua, pola "konser" Agung mulai berubah, yang tadinya start pada pukul 24.00 WIB beralih menjadi pukul 21.00 WIB sampai dengan pukul 02.00 WIB dini hari, sudah agak mendingan sih, walaupun kuping masih nggak tahan dengar jeritannya. Memasuki bulan ketiga "konser' berubah jam tayang lagi, dari yang tadinya pukul 21.00 WIB berubah menjadi sore menjelang maghrib sampai dengan sekitar pukul 21.00 WIB, saya sudah tidak perlu begadang lagi, tapiiiiiiiii...saya dan suami tetap saja kelimpungan dibuatnya.
Memasuki bulan ketiga saya sudah kembali ke kota tempat saya bertugas, Lhokseumawe, disana kami tinggal di kawasan pemukiman yang padat penduduk, antara rumah yang satu dengan yang lainnya saling berdekatan, dan Alhamdulillah selama tinggal disana saya memiliki tetangga-tetangga yang super baik dan sangat perhatian dengan keadaan kami sebagai keluarga baru yang notabene minus pengalaman dalam merawat bayi. Permasalahannya adalaaaaaahhh...setiap Agung mulai "konser" tetangga-tetangga mulai berdatangan menawarkan bantuan, mulai dari yang bergantian ingin menggendong untuk menenangkan, berkomentar menyarankan ini dan itu, sampai dengan membawa air putih yang telah dibaca-bacakan doa untuk disemburkan ke Agung Bhhhuuuuuuuaaaaaahhhhhhhaaaaaaaaahhhhhhhaaahhhhhhaaaaaaaa.... kalau bayanginnya sekarang lucu, tapi pada waktu itu kami malah semakin panik, perasaan campur aduk, mulai dari stress karena Agung nggak diam-diam, sungkan karena sudah merepotkan orang banyak, bersalah karena tidak becus menjaga anak sampai dengan perasaan nggak enak dengan tetangga karena lengkingan suara Agung telah mengusik ketentraman orang-orang sekampung.
Sejak pertama dinyatakan positif hamil, saya dan suami rajin membaca dan mempelajari segala hal yang berhubungan dengan kehamilan, kelahiran, bayi dan anak, dengan harapan agar kelak tidak grogi ketika gelar sebagai orangtua dibaiatkan kepada kami. Semua teori-teori tentang perawatan bayi kami pelajari dengan teliti dan cermat, layaknya akan menghadapi ujian semester disekolahan, semua teori-teori itu telah kami hafal luar kepala. Tapiiiiiiiii.....ketika gelar orang tua itu berhasil kami sandang, ternyata semua teori-teori itu buyar, kami panik, gugup dan lupa dengan apa yang telah kami baca, padahal kunci utama untuk menangani anak adalah "do not panic", jangan pernah panik, karena ketika kita panik maka kendali yang kita pegang beralih kepada anak, maka yang terjadi adalah kita dikendalikan oleh tangisan anak, pada kasus Agung, kalau dipikir-pikir sebenarnya Agung adalah anak yang manis, seandainya kami lebih peka terhadap keinginannya mungkin hal-hal heboh seperti yang telah saya ceritakan diatas tidak akan menimpa kami. Terlepas dari semua kerepotan diawal-awal tumbuh kembangnya Agung, bagi kami Agung adalah sumber ilmu utama kami menjadi orang tua, sehingga ketika merawat adik-adiknya Alhamdulillah kami sudah lebih siap sebagai orang tua.
Tanpa disadari akhir Juni tahun ini Agung genap 6 th, Insyaallah dia masuk SD, Agung yang dulunya selalu beraroma minyak telon & bedak bayi, sekarang sudah mulai beraroma matahari, karena suka main panas. Yang dulunya selalu manut bila didandani dengan gaya apapun yang terpikirkan oleh Papa & Mamanya, sekarang sudah bisa protes kalau didandani tidak sesuai dengan keinginannya. Kalau dulu saya & suami suka gemes dengar celotehannya, sekarang kami kewalahan menghadapi serbuan pertanyaannya.
Semua orang tua di dunia ini pasti mengakui kalau anaknyalah yang paling hebat, dan dengan tidak malu-malu ingin saya teriakkan kalau Agung adalah anak paling hebat, paling pintar, paling baik, paling ganteng yang akan selalu kami sayangi sampai kapanpun,
We Love You Agung !!!!!