"...Since love and fear cannot exist together, if we must choose between them, it is far safer to be feared than loved..."
Machiavelli, The Prince.
Terjemahannya kurang lebih seperti ini, karena rasa cinta dan rasa takut tidak dapat ada secara bersamaan, maka jika kita harus memilih diantara keduanya, lebih aman bila kita merasa ditakuti dari pada dicintai....
Andaikan disuruh memilih, mana yang akan anda pilih, dicintai atau ditakuti ?
Mungkin sebagian dari anda semua berpikir lha koq jadinya kaya preman ditakuti, enakan dicintai deh. Ok...itu terserah anda untuk berpendapat, tapi kalau dikaji-kaji lebih dalam makna dibalik kata-kata Machiavelli, sepertinya saya lebih memilih untuk ditakuti saja ketimbang dicintai.
Secara kasat mata dicintai pastinya berkonotasikan hal-hal positif, perasaan diperhatikan, disayangi dan dihargai menjadikan seseorang merasa sebagai makhluk paling bahagia dan beruntung di muka bumi ini. Sedangkan menjadi orang yang ditakuti menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah seorang monster yang paling berbahaya dan harus dijauhi agar bumi selamat dari ancaman kepunahan.
Mungkin menurut anda dicintai berarti kita telah memberikan banyak apresiasi-apresiasi baik untuk orang yang mencintai kita, sedangkan orang menjadi ditakuti karena telah memberikan konstribusi-konstribusi buruk kepada orang lain, mungkin pendapat ini benar, tapi bukannya tidak mungkin kalau pendapat ini ada salahnya juga, bukankah manusia tidak sempurna, bukankah tidak selamanya kita mampu berdiri dijalur yang lurus dan benar, dan bukankah sebagai manusia kita juga berhak memilih dan melakukan apa yang benar dan salah untuk diri kita.
Sebutan dicintai dan ditakuti ini sebenarnya timbul akibat dari akar pikiran (seseorang terhadap orang lain) yang berkembang menjadi cabang perasaan dan membuahkan sikap mental yang dipicu dari pola tingkah laku si orang tadi (selanjutnya disebut objek), tapi harus kita selidiki apakah perasaan itu timbul benar akibat perbuatan sang objek yang memang layak untuk di-cinta/takut-i ataukah hanya perasaan atas kesimpulan yang salah dari si subjek.
Harus diakui manusia memiliki tipe-tipe mental tertentu yang membuat ia mudah untuk memprovokasi atau diprovokasi, jadi sebelum merasa yakin apakah benar si objek tepat untuk di-cinta/takut-i silahkan mereview lagi ke dalam hati masing-masing, apakah perasaan itu timbul hanya karena faktor provokasi tadi. Sebagai contoh, saat ini pengaruh media elektronik sangat menunjang pencitraan diri terhadap seorang artis X(misalnya), banyaknya tayangan-tayangan infotaiment di televisi yang mengupas habis kehidupan selebritis tersebut secara berlebihan, atau lebay istilahnya anak alay, membuat penonton dibiaskan antara yang real dan unreality, hantaman pemberitaan yang bertubi-tubi kepada penonton terhadap X membuat penonton merasa seakan-akan mereka adalah kerabat terdekat dari si X tadi karena paling mengetahui hal-hal privacy dari X sehingga seakan-akan membenarkan perbuatan awak media elektronik untuk melakukan penilaian terhadap X tanpa mempedulikan hak X untuk menceritakan hal sebenarnya dibalik perbuatannya, pada fase ini penonton mulai diprovokasi dengan pemberitaan akan X, selanjutnya pikiran penonton mulai dikembangkan kearah perasaan untuk membenci atau menyukai artis X tadi, pada tahap selanjutnya apabila awak media elektronik berhasil mengungkapkan 1 saja bukti perbuatan X maka penonton berhasil diarahkan untuk mencintai / menakuti si X tadi, pada tahap ini provokasi telah berhasil dilaksanakan, setelah itu stigma yang melekat terhadap X akan berlanjut sampai dengan adanya perbuatan kontra dari X.
Kalau boleh menilik ulang, perasaan dicintai membebankan objek untuk selalu bersikap sebagaimana yang diharapkan si subjek, pastinya subjek akan kecewa bila objeknya tidak bertingkahlaku sebagaimana yang ia pikirkan. Sedangkan terhadap objek yang ditakuti tidak membebankan sang objek untuk terus-menerus memberikan rasa takut, positifnya bila si objek yang ditakuti menunjukkan / bersikap baik pastinya orang yang merasa takut akan surprise, dan sebagaimana umumnya sifat manusia yang paling gampang melupakan perasaan-perasaan tidak enak seperti sakit, takut, dsb tentunya hal ini akan memutarbalikkan stigma dari ditakuti menjadi dicintai dan atau disegani. Namun terhadap orang yang dicintai, apabila si objek melakukan 1 saja perbuatan negatif maka status dicintai tidak mutlak berubah menjadi objek yang ditakuti tapi sudah pasti berubah menjadi yang dibenci, timbul pertanyaan lagi apakah dibenci sama artinya dengan ditakuti, mana yang lebih enak dibenci atau ditakuti, bila membaca kamus besar bahasa Indonesia arti benci dan takut jelas berbeda, menurut saya lebih bagus ditakuti daripada dibenci (pembahasan tentang ditakuti dan dibenci akan kita bahas dalam kesempatan lain).
Tapi dibalik itu semua, pesan yang saya tangkap dari kata-katanya Machiavelli diawal adalah, dicintai menimbulkan kewajiban untuk mencintai orang yang telah dengan suka rela mencintai kita, sedangkan ditakuti tidak menimbulkan kewajiban untuk menakuti orang yang merasa takut akan kita, dan oleh karenanya menurut saya lebih sulit mempertahankan status dicintai ketimbang ditakuti, seseorang yang telah terbiasa hidup dengan label dicintai tentunya akan sangat shock bila kelak labelnya itu direnggut secara paksa dari dirinya, namun sebaliknya orang yang terbiasa dengan gelar ditakuti tentunya tidak akan susah bila gelar tersebut dicopot dari dirinya. So...mungkin suatu saat di nisan saya akan ada tulisan seperti ini :
RIP
Sylvia Shinta
"Orang yang sangat ingin ditakuti sepanjang hidup dan matinya"
Dua hal yang sulit, bahkan jika untuk memilih salah satu, kita malah tidak merasakan, bahkan tidak mendapatkan satunya, ataupun bahkan mungkin kehilangan yang satunya.
BalasHapusDua hal yang sulit, bahkan jika untuk memilih salah satu, kita malah tidak merasakan, bahkan tidak mendapatkan satunya, ataupun bahkan mungkin kehilangan yang satunya.
BalasHapus