Kemarin malam kira-kira setelah maghriban saya dan suami ke pasar Peunayong Banda Aceh untuk belanja kebutuhan dapur, sudah telat sih, tapi ya maklum saja kami baru bisa keluar dari kantor menjelang Maghrib jadi baru malamnya sempat berbelanja. Setelah semua kebutuhan telah didapatkan kami berniat untuk segera pulang, tapi suami malah belok kearah lain untuk mencari buah salak, buah wajib yang selalu ada dirumah, disanalah saya melihat si Kakek, duduk termangu didepan dagangannya, sebenarnya bukan baru kali ini saja saya melihatnya, pertama sekali saya ngeh akan keberadaannya adalah ketika bulan puasa tahun lalu, saat itu ditengah teriknya matahari ia duduk tersengal-sengal menunggui dagangannya, pertama kali melihatnya saya pengen nangis, saya kangen Alm. Kakek, sekilas penampilannya mirip dengan Kakek saya, mengenakan kemeja lengan panjang yang dimasukkan dengan rapi ke dalam celana kain tanpa lipitannya, ada sebuah jam ditangan kirinya, memakai sepatu kulit lengkap dengan kaos kakinya, persis seperti penampilan Alm. Kakek saya dulu, tutur katanya halus dan santun, bila berbicara agak tersengal-sengal mungkin karena asma atau lanjutnya usia, seperti kakek saya. Saya tebak usianya menjelang 70-an atau mungkin sudah 70-an lebih, rambutnya yang penuh uban disisir belah samping, rapi, persis Kakek saya, bedanya kalau Kakek saya penggemar berat topi stetson, sehingga kemana-mana selalu mengenakan topi ala koboi itu.
Sejak pertama melihatnya saya jatuh iba, dibenak saya koq sudah setua itu masih jualan, anak-anaknya pada kemana, seharusnya diusianya Ia sudah bisa duduk tenang dirumah bukan diluar rumah bersusah payah mencari nafkah. Setiap melihatnya saya selalu membeli tahu yang dijualnya, padahal saya lagi gak butuh tahu, pertama kali melihatnya dulu saya sempat berniat memberikannya sejumlah uang, tapi saya takut dia akan tersinggung, saya urungkan niat saya saat itu. Tapi tadi malam saya benar-benar kasihan melihatnya. saya lihat ember tahunya masih penuh, belum ada 1/4 pun laku terjual, ingin rasanya saya borong tahu-tahunya itu, tapi mau dibawa kemana. Ketika saya hampiri dia sedang termangu menatapi dagangannya, sempat kaget juga ketika saya datang,
"Mau beli tahu Bu ?" tanyanya
"Iya Pak, tolong kasih Rp.10.000,- ya" jawab saya sambil menyerahkan sejumlah uang kepadanya
Dengan bersemangat diambilnya kantung plastik dan mulai membungkus tahu-tahu itu, setelah terbungkus satu plastik penuh saya ambil, saya pikir 1 plastik itu Rp.10.000,- ternyata 1 plastik itu baru Rp.5.000,- jadi saya bilang
"Segini Rp.5.000,- ya Pak, kalau gitu segini aja ya." kata saya sambil berniat ingin buru-buru pergi
"Bu...Kembaliannya..." Katanya
"Gak pa-pa, buat Bapak saja" jawab saya
"Oh..saya gak mau Bu, saya gak mau...saya gak mau kalau seperti itu...tunggu saya cari kembaliannya" katanya sambil merogoh-rogoh sakunya mencari uang kembaliannya. Waahh si Kakek bakalan marah ni kalau saya paksa untuk menerima uang kembalian tadi kepadanya, pikir saya, maka saya bilang
"Ya uda Pak, bungkus aja Rp.5.000,- lagi"
"Ibu benar mau beli lagi atau sudah cukup, kalau kebanyakan kan mubazir Bu" katanya sambil menatap saya
"Iya Pak, bungkus aja Rp.5.000,- lagi, saya baru ingat ada yang pesan juga" jawab saya berbohong, dalam hati saya langsung berdoa 'Ya Allah maafkan saya sudah membohongi Kakek ini'.
"Mau jualan" goda suami saya melihat saya menenteng bungkusan tahu yang super buanyaaak tersebut
"Kasihan aja, tadinya niatnya beli Rp.5.000,- aja, biar kembaliannya untuk Kakek itu, tapi dia ngotot gak mau, ya uda ntar sisanya antar kerumah Mama aja" kata saya
"Ya iya lah dia gak mau, bisa tersinggung dia kalau Adek paksain, dia punya harga diri, kalau dia mau jadi pengemis dia gak bakalan jualan kaya gitu" kata suami saya
Sepanjang jalan pulang kerumah saya termenung memikirkan kata-kata suami saya tadi, suami saya benar, si Kakek pasti gak mau dikasihani, dia akan tersinggung berat bila saya memaksakan Ia menerima uang kembalian yang gak seberapa jumlahnya itu, bukan masalah jumlahnya, tapi perasaan dikasihani, kalau Ia ingin dikasihani pasti Ia sudah jadi pengemis, ngapain repot-repot jualan dengan resiko tidak laku, tapi Dia punya harga diri, dia merasa dia masih cukup kuat untuk mencari nafkah yang halal tanpa perlu mengemis kesana-kemari mengharapkan belas kasihan orang lain, kuncinya harga diri, harga diri.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar