Pasti semua yang mengaku sebagai warga negara Indonesia dan pernah dibesarkan di Indonesia kenal dengan lagu yang satu ini
Pelangi-pelangi alangkah indahmu
Merah, kuning, hijau dilangit yang biru
Pelukismu Agung siapa gerangan
Pelangi-pelangi ciptaan Tuhan
padahafal kan dengan lagu itu, jangan bilang anak Indonesia kalau belum pernah dengar lagu ciptaannya Bapak A.T. Mahmud ini. Naaaahhhh kalau Athar yang nyanyiin maka bunyi lagu itu akan menjadi seperti ini
Pelangi-pelangi alangkah indahmu
Melah, kuning, hijau dilangit yang bilu
Pelukismu Athal siapa gelangan
Pelangi-pelangi ciptaan Tuhan
Naaahh lhooo koq bisa gitu ? pasti pada heran kan, usut punya usut ternyata Athar gak ridho banget kalau lagu itu dinyanyikan dengan menyebut-nyebut nama Abangnya "Agung", menurutnya, dia yang udah capek-capek lukis gambar pelangi, udah capek-capek nyanyi lha koq Agung yang disebut, Athar gitu lho hahahahahaha
Sudah beberapa kali kita semua termasuk guru-gurunya di sekolah berusaha menjelaskan bahwa Agung yang dimaksud bukanlah bang Agung, tapi dia tetap berkeras gak mau nyanyiin lagu Pelangi-Pelangi versi aslinya, maka kalau Athar yang menyanyikan lagu Pelangi-Pelangi liriknya akan seperti tadi (mohon maaf Athar masih cadel).
Tapi Agung pun gak mau kalah menurutnya kita harus menyanyikan lagu sebagaimana yang diciptakan, maka tiap kali Athar nyanyi Pelangi-Pelangi dia sudah siap-siap, setiap kali akan sampai pada bait "Pelukismu ..." dia langsung kencang-kencang teriak "AGUNG" walhasil Athar jadi jengkel dan mengulang lagi baitnya dari pertama, dan Agung pun gak mau kalah siap-siap teriak lagi, begitu terus berulang-ulang sampai saya jengkel atau salah satu diantara mereka ada yang nangis karena kesal.
Dan hal ini terus mereka lakukan setiap hari, pusing jadinya kan, apalagi karena saking berisiknya kadang Adit adiknya jadi terbangun, padahal menidurkan Adit susah banget dan kalau Adit sudah bangun saya jadi gak bisa ngerjain apa-apa, akhirnya saya ambil jalan tengah, saya sampaikan kepada mereka "kalau mau nyanyi, dua-duanya saja namanya disebutin, biar adil", Agung nanya "adil itu apa Ma ?" saya mencoba menjelaskan dengan bahasa anak-anak, saya bilang "Adil itu bila semua yang berhak mendapatkan haknya yang sama, misalnya Mama beli kue 1 untuk anaknya sementara anaknya ada tiga maka kuenya harus dibelah tiga biar tiga-tiganya dapat, jadi adil, gitu juga dengan nyanyi supaya adil sebutin aja dua-dua nama kalian biar adil", trus mereka diskusi berdua akhirnya dikumandangkanlah lagu Pelangi-Pelangi versi mereka :
Saya nanya "Lho Nak koq Papa Mama dan dek Adit disebut juga ?" dengan antengnya mereka jawab "biar adil Ma". Hahahahaha ada aja ulah bocah, maafkan anak-anak saya ya Bapak AT. Mahmud.
Masih pada ingat nggak dengan serial televisi era 80'an ini ? Drama tv yang selalu diputar di satu-satunya stasiun televisi Indonesia, pada saat itu, di setiap Minggu siang setelah acara 'Arena & Juara'. Kapan tahun tepatnya serial tv ini mulai di putar di TVRI saya juga gak tau pasti, kalau tidak salah serial ini mulai diputar ketika usia saya sekitar 4 - 5 atau 6 tahun, entahlah, yang pasti, waktu itu saya masih kecil, dan setiap intro musik film ini mulai berkumandang, dimanapun saat itu saya berada maka saya akan langsung bergegas pulang untuk menonton acara tv favorit keluarga saat itu, I grew up with Little House on the Prairie and I always loved it, kenangan yang indah.
Kira-kira sebulan yang lalu ketika saya sedang berbelanja di toko buku langganan, saya melihat novel "Litlle House Series" langsung saja memori masa kecil ini hidup kembali, setelah baca saya baru tau lho kalau ternyata serial drama tv ini diangkat dari kisah nyata Laura Elizabeth Ingalls Wilder, penulis Amerika ini menceritakan kisah hidupnya di masa kecil dalam novel "Litlle House Series" tentang perjalanan dirinya dan keluarganya dari rimba raya Wisconsin hingga menetap di De Smeth, Dakota Selatan. Dalam novel ini diceritakan bagaimana Laura dan keluarganya melakukan perjalanan jauh dengan mengendarai gerobak kuda beratapkan terpal, bertemu orang Indian, berburu, membuka lahan baru, bertani, menghadapi badai salju yang dahsyat dan lain sebagainya yang membuat saya devoured each book again and again hahahaha, sayangnya saya belum berhasil membeli buku yang terakhir, sedang dalam pemesanan.
Laura Elizabeth Ingalls Wilder (7 Februari 1867 - 10 Februari 1957)
Keluarga Ingalls merupakan pionir atau pelopor yang menjelajahi benua Amerika untuk membuka lahan pertanian baru dan memulai kehidupan baru, mereka adalah saksi hidup yang menyaksikan sejarah pertumbuhan Amerika menjadi suatu negara besar dan turut serta sebagai pelaku perkembangan tersebut. Setelah dewasa Laura menikah dengan Almanzo "Manly" Wilder, kemudian Ia bersama suami dan anaknya, sekali lagi, melakukan perjalanan menuju daerah baru, sebagaimana perjalanan yang telah Ia lakukan dimasa kecilnya. Perjalanan Laura bersama suami dan anaknya Rose Wilder Lane diceritakan kembali dalam novel "Litlle House Rose Series". Untuk kumpulan Novel yang ditulis Roger Lea Mac Bride, berdasarkan pengalaman yang diceritakan Rose kepadanya, ini, sayangnya saya hanya memiliki 3 bukunya saja, sisanya belum ketemu. Membaca novel yang berceritakan pengalaman Laura maupun Rose, keduanya sama-sama bercerita tentang keteguhan dalam memperjuangkan hidup, sikap berani dan pantang menyerah, keberanian untuk memulai kehidupan ditempat baru yang masih liar dan belum pernah mereka datangi, jiwa petualangan, serta kehidupan sebagai petani dan peternak ala western tempo dulu.
Rose Wilder Lane (5 Desember 1886 - 30 Oktober 1968)
Setelah membaca bukunya saya baru menyadari bahwa ternyata banyak perbedaan antara buku dan film, tapi karena yang pertama kali saya lihat adalah filmya jadi saya tidak merasa aneh, biasanya saya selalu ngomel-ngomel bila menonton film yang melenceng dari bukunya, tapi untuk kasus ini saya menerimanya dengan lapang dada hehehe, hanya saja ketika membacanya jadi rada-rada terganggu dengan beberapa perbedaan kecil yang walaupun sepele tapi sangat mengganggu mata saya, seperti contohnya, bila di film kita melihat Pa *panggilan Laura terhadap ayahnya* Charles Inggals seperti ini
namun di bukunya Pa diceritakan dan juga digambarkan memiliki janggut yang panjang dan tebal alias brewokan, sedangkan Mr.Edwards
dibuku digambarkan sebagai orang yang tinggi dan kurus serta tidak memiliki janggut, sepele sih tapi bagi saya lumayan mengganggu konsentrasi saya untuk berkhayal hehehe. Selain itu di buku tokoh yang satu ini, masih ingat siapa dia ?
Nellie Oleson, musuh bebuyutannya Laura, Naaah kalau di buku perseteruan keduanya tidak seseru seperti yang digambarkan dalam filmnya, demikian juga Mrs.Oleson
di buku, rasanya tokoh Ibunya Nellie ini tidak menyebalkan sebagaimana yang ada dalam film, malah sosoknya hanya sekilas diceritakan Laura itupun tidak tergambar sebagai sosok yang jahat, bila dalam film lebih mengkhususkan pada kehidupan keluarga Ingalls di satu kota, *lupa saya nama kotanya, yang jelas tempat dimana keluarga Oleson memiliki toko*, maka buku menceritakan tentang pengalaman perjalanan keluarga Ingalls yang berpindah dari satu kota ke kota lainnya *mohon maaf bila saya keliru dalam mengartikan novelnya*, namun sekali lagi seperti yang saya kemukakan diawal, saya tidak terganggu dengan perbedaan antara cerita di film dan bukunya, yang pasti ketika kecil hal yang selalu saya nantikan setiap Minggu siang adalah menyaksikan kehidupan sederhana keluarga bahagia ini
Balik lagi kepada kenangan akan filmnya, dulu, waktu saya kecil, acara wajib yang selalu saya tonton pada hari Minggu adalah Unyil, Ria Jenaka, Album Minggu dan Little House On The Prairie, dibilang wajib ya karena pada waktu itu cuma ada 1 chanel tv di Indonesia. Biasanya sesudah film itu berakhir diputar saya diwajibkan untuk tidur siang. Sebelum tidur saya selalu membayangkan seandainya saya jadi Laura, tinggal di tanah pertanian di rumah yang keseluruhannya terbuat dari kayu, menunggang kuda, bermain di sungai, tidur di kamar yang berada tepat di bawah loteng, dan sebagainya dan sebagainya sampai akhirnya saya tertidur pulas. Sorenya, saat bermain bersama teman-teman kami selalu membahas kembali film dan adegan-adegan yang menjadi favorit kami, biasanya adegan ketika Laura berantem dengan Nellie atau ketika musim salju tiba, sangat menyenangkan, saat itu saya sampai bercita-cita kalau sudah besar kelak akan menjadi petani yang punya rumah seperti rumahnya Laura dan tinggal di negeri dengan 4 musim, hahahaha impian yang indah.
so unforgettable movies,
Ini adegan yang paling saya sukai,
Saya selalu berharap semoga ada stasiun televisi yang berkenan memutar kembali serial tv jadul ini, dan seandainya itu terjadi, mungkin sebagaimana Mama saya dulu, saya akan mentranslitkan satu persatu dialog dalam film tersebut kepada anak saya, karena pada saat itu entah saya yang belum pintar membaca ataukah memang film itu tidak ada terjemahannya, saya lupa, yang saya ingat hanyalah Mama selalu menerjemahkan dialog film tersebut saat adegan-adegan seru, dan saya tidak akan tidur siang sebelum Mama menceritakan kembali kesimpulan cerita dalam film Little House On The Prairie yang baru saja kami tonton tersebut. Memory is one the most powerful of implements in the human arsenal and
one of the characteristics that makes our species so unique. It is
memory that allowed us to develop speech, that allowed us the create
societies, that has allowed us to become such a successful species. Memory outs us in
touch with our past, allows us to recall the beautiful and tender
moments of our lives. Memory can also be our undoing. It can keep
unpleasant moments fresh in our minds, bending and twisting our souls,
perverting our good will. Memory’s power is undeniable, and Little House On The Prairie is one of my favorite childhood memories.