Mahatma Gandhi

"You may never know what results come of your action, but if you do nothing there will be no result"    

Jumat, 11 Februari 2011

Tabu

"Namanya siapa ?..".
"Ata.." (Athar).
"Umurnya berapa tahun ?..".
"Uwa ayun .." (dua tahun).
"Nama Papanya siapa ?..".
"Papa Ajus.." (Agus).
"Nama Mamanya siapa ?..".
"Mama Pippi..".
"Rumahnya dimana ?..".
"Yamyajang.." (Lamlagang).

Demikian percakapan Athar dengan salah seorang kerabat, sore ini kami sedang ngumpul dirumah Mama karena ada pengajian dan arisan keluarga. Mendengar percakapan tadi salah seorang kerabat berujar,
"Waaah..anak-anak sekarang hebat-hebat ya, pintar-pintar, masih kecil uda tau nama orang tuanya, waktu jaman tante dulu jangankan nama orang tua nama sendiri aja nggak tau.." ujarnya sambil tersenyum simpul.
"Iya...waktu jaman kita dulu kan tabu nyebut-nyebut nama orang tua, pamali katanya.." sahut kerabat yang lainnya.
"Kenapa tabu tante ?" tanya salah seorang sepupu saya.
"Ndak tau tuh..pokoknya tabu aja..jadi kita-kita dulu ndak pernah diberitahu siapa nama orang tua kita, baru taunya ya setelah pintar membaca.." jawab kerabat yang lainnya lagi.
"Dulu yang tau nama orang tuanya biasa anak nakal.." kata seorang nenek.
"Lha koq gitu ?" tanya saya penasaran.
"Iya..kalau nggak nakal dari mana juga dia bisa tau kalau bukan dari mencuri dengar kata-kata orang tua, sedangkan jaman dulu anak-anak pantang dekat-dekat orang tua kalau orang tua lagi bicara serius.." jawab si nenek dengan bersemangat, nggak nyambung banget penjelasan si nenek, pikir saya.
"Ah...masak segitu-gitunya banget sih ?.." tanya saya penasaran.
"Iya..bener..kamu sih hidup di jaman serba terbuka jadi ndak bisa membayangkannya, waktu kami dulu banyak banget pantangan dan larangannya.." kata salah seorang Uwak.
"Kalau dulu antara orang tua dan anak kan ndak bisa ngobrol bebas kaya sekarang ini, seperti terhijab, jadinya banyak hal-hal yang ndak bisa dengan bebas ditanyakan atau diceritakan, mungkin kalau dipikir-pikir sekarang, bukannya tabu nyebut nama orang tua, tapi anak segan untuk tanya siapa nama orang tuanya, atau ndak kepikiran untuk nanya siapa nama orang tuanya, pokoknya pasrah aja dengan kehendak orang tua, ndak kaya' anak-anak sekarang banyak debatnya, faktor gizi juga mungkin.." kata yang lainnya lagi sambil tertawa geli.
"Dulu nama orang tua itu kerap dijadikan bahan ejekan.." kata Mama.
"Aaah...sama aja sekarang juga gitu, kalau namanya aneh aja dikit uda deh jadi bahan, nama Suparman bisa jadi Superman.." kata salah seorang sepupu.
"Bedaaa..kalau sekarang nama yang ada dipleset-plesetin, kalau dulu enggak, kalau nama bapaknya Suparman ya setiap anaknya lewat pasti dipanggil-panggil Suparman, herannya si anak ngamuknya bisa kaya banteng ngelihat sapu tangan merah, kalau dipikir-pikir entah kenapa juga harus ngamuk-ngamuk kaya gitu.." tambah Mama menjelaskan.
"Dulu Om kalian pernah babak belur berantem ama temen-temen sekolahnya dulu, gara-gara dipanggil dengan nama Kakek, padahal nama yang disebutkan uda benar nggak dipeleset-pelesetkan, tapi tetap aja si Om ngamuk.." kata Mama menambahkan.
"Mungkin cara panggilnya aja yang salah, mungkin nadanya kedengaran seperti ngenyek.." kata saya.
"Ya kalau nadanya ngenyek ya uda pasti memang itu tujuannya untuk mengejek, cuma herannya kenapa juga harus marah.." kata Mama. 
"Ya seperti itu lah waktu dulu, karena dianggap sakral, jadi tabu banget nyebut-nyebut nama orang tua, kalau disebut, waaah..rasanya seperti sudah melakukan perbuatan yang bejaaat banget..apalagi untuk diejek.." tambah tante saya.

Mendengar penjelasan beberapa kerabat tadi saya jadi ingat cerita Mama tentang salah seorang adik perempuannya yang sekarang berada di Makassar, yang biasanya saya panggil Acik, nah ceritanya waktu itu si Acik baru berusia sekitar 6 tahunan, ketika dia sedang bermain di lapangan bersama teman-temannya dia melihat seseorang yang ia duga adalah ayahnya sedang mengendarai sepeda, mengira kalau itu adalah Ayahnya, Acik segera berlari mengejarnya sambil berteriak-teriak memanggil ayahnya tersebut, dia terus berlari mengejarnya sampai orang itu berhenti di sebuah bioskop yang jaraknya kira-kira 1 Km dari lapangan tadi, begitu orang itu berbalik badan ternyata bukan ayahnya, sontak donk si Acik yang uda kecapean kecewa berat menyadari hal tersebut, sebagaimana reaksi spontan seorang anak bila dalam keadaan cape dan kecewa, maka Acik pun mulai menangis menjerit-jerit hingga akhirnya dikerubungi orang banyak, beberapa orang mencoba menanyakan identitas Acik,
"Namanya siapa ?.." 
"Adek.." (karena biasa dirumah dipanggil Adek)
"Ayahnya namanya siapa ?.."
"Bapak.."
"Ibunya namanya siapa ?.."
"Mamak.." 
"Tinggalnya dimana ?.."
"Di rumah..".
Hahahahahaha....nggak kebayang betapa pusingnya orang-orang yang mendengar jawaban Acik tadi, syukur jaman dulu orangnya masih pada baik-baik, mau bersusah payah mencari rumah dan orang tua Acik, kalau jaman sekarang, waaaahh...nggak bisa bayangin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar